Jumat, 17 Oktober 2014

Tak sampai. Karya Widi Anjungan.



TAK SAMPAI
Gadis manis yang duduk di bawah pohon rindang itu adalah Raisa. Entah apa yang membuat dia begitu menarik perhatianku. Tidak, dia tidak kecentilan untuk mencari perhatianku. Dia tidak seperti gadis SMA yang lain yang hanya sibuk berkutat dengan make up yang baru dicoba, atau baju model terbaru. Mungkin itu yang membuatnya menarik di mataku.
Aku sudah lama kenal dekat dengan Raisa. Aku mulai mengenalnya sejak kelas X karena waktu itu aku dan Raisa sekelas. Aku dan Raisa selalu duduk bersebelahan. Banyak yang bilang kalau kami pacaran, tapi sebenarnya tidak. Aku dan Raisa hanya teman dekat.
Setiap ada tugas kelompok, aku selalu berusaha untuk satu kelompok dengan Raisa. Begitupula Raisa, dia tidak pernah menolakku untuk masuk ke kelompoknya walau kontribusiku dalam kelompoknya tidak terlalu besar.
Raisa termasuk anak yang lumayan pintar di kelas, dia tidak segan memberi jawaban ketika ulangan. Tidak seperti anak – anak pintar yang lain yang selalu pura – pura tuli ketika ulangan berlangsung, yang tak mau nilainya anjlok, yang tak mau nilainya sama atau lebih kecil dari temannya. Mungkin itu pula yang membuat Raisa menarik di mataku.
Suatu malam, kuberanikan diri untuk menyapanya lewat BBM. Meskipun degdegan, takut tidak dibalas, takut dianggap laki – laki genit, atau apalah, tetap kuberanikan diri untuk mengirim pesan lewat BBM.
PING!!!
5 menit kemudian Raisa menjawab pesan BBMku. Hatiku senang sekali, aku kira Raisa tidak akan menjawab pesanku.
“Hmm...jawab apalagi yah ini? Ah tanya aja lagi apa,” pikirku dalam hati.
Ah Raisa menjawab. Ternyata dia sedang mengerjakan PR Matematika. Karena takut mengganggu, aku akhiri saja obrolan ini dengan alasan aku kelelahan karena sudah futsal. Padahal, seharian aku tidur di rumah.
Semalam, aku mengajak Raisa untuk bertemu di sekolah. Hah...berani sekali aku. Apa yang harus aku bicarakan nanti? Duh, bodohnya aku.
Baiklah, temui saja dulu.
Aku menyuruh dia keluar dari kelasnya dan kuajak dia untuk duduk di bawah pohon rindang yang ada di dekat kelas Raisa. Aku bingung, apa yang harus aku bicarakan? Jalan terakhir, aku meminta jawaban remedial matematika saja. Benar dugaanku, dia memberikan jawabannya padaku. Hah...ternyata aku salah. Coba kalau aku minta dijelaskan materi bahasa Jerman, kelasku kan agak tertinggal materinya dari kelas Raisa. Mungkin pertemuan ini akan berlangsung lebih lama. Apa daya, aku tak bisa basa basi, aku segera mengakhiri pertemuan ini.
“Sial, kenapa harus gini sih? Aaaaargghh!” aku menggerutu dalam hati.
“Duh, bagaimana caranya yah biar Raisa tahu kalo aku suka sama dia?” tanyaku dalam hati.
Malamnya, aku mengirimnya pesan BBM lagi. Dengan berani aku meminta izin untuk menelepon Raisa dengan maksud untuk menyatakan perasaanku pada Raisa.
Berjam – jam aku menelepon Raisa, aku tidak juga menyatakan perasaanku pada Raisa. Argh, bodohnya aku. Dasar pengecut! Dalam hati, aku bertekad untuk menyatakan perasaanku lain waktu.
Akhirnya, aku meminta bantuan Siska, teman dekat Raisa untuk menyampaikan perasaanku kepada Raisa.
“Sis, aku lagi nyari cewek nih,” kataku di BBM.
“Yaudah nyari aja,” jawab Siska.
“Ya kamu cariin lah,” kataku.
“Ada nih, si Raisa,”jawab Siska.
“Pengennya sih, tapi....”kataku.
“Tapi apa?” tanya Siska.
“Aku gak enak sama Dimas, Dimas kan mantannya Raisa, Dimas juga temen aku, aku takut pertemanan aku sama Dimas hancur Cuma gara – gara cewek,”jawabku.
“Yaelah De, cinta tuh gak dirasain sama orang lain. Lagian, Raisa sama Dimas kan udah putus. Dimas udah gak berhak lagi ngatur – ngatur hidup Raisa. Lagian, kamu mau? Kalo nanti Raisa keburu jadian sama cowok lain?”tanya Siska.
“Ya nggak lah, tapi...”jawabku.
“Tapi apa? Gak berani yah? Yaudah besok aku bilangin sama Raisa yah,”jawab Siska.
“Hmm iya deh!”kataku.
Hah... semoga dengan cara ini, Raisa tahu perasaanku, pikirku dalam hati.
Lama setelah aku bercerita kepada Siska, sikap Raisa masih seperti dulu kepadaku. Tak ada yang berbeda.  Aku pun merasa bingung. Harus dengan cara apa lagi aku menyatakan perasaanku pada Raisa.
Akhirnya, aku memutuskan untuk tidak menghubungi Raisa terlebih dahulu. Aku takut, Raisa merasa terganggu dengan sikapku yang seperti ini. Selagi aku memutuskan untuk tidak menghubungi Raisa, aku mempersiapkan diri untuk menembaknya secara langsung.
Butuh waktu lama untuk mempersiapkan keberanianku ini. Sekitar satu minggu aku dan Raisa tidak berhubungan lagi, entah itu lewat BBM entah itu lewat telepon.
Suatu malam ketika di perjalanan sehabis pulang dari turnamen futsal di luar kota, aku mengirim pesan pada Raisa untuk menungguku dan jangan dulu tidur karena aku akan meneleponnya.
Ketika aku akan meneleponnya, aku mengecek RU di BBM terlebih dahulu. Takutnya dia sudah tidur dan aku takut menggangguunya. Ternyata dia masih memutar musik, karena pemberitahuannya ada di RU ku. Kupikir, setia sekali dia. Dia rela menungguku hingga larut malam. Hal ini semakin meyakinkanku untuk segera menyatakan rasa cintaku padanya.
Tapi, kulihat seseorang membuat personal message dengan kalimat “Raisa Drupadi” lengkap dengan emoticon love dan big hug. Dia adalah Dimas Prawira, mantan pacarnya dulu.
Seketika itu hatiku remuk, aku memutuskan untuk tidak jadi menelepon Raisa. Tidak pula mengirim BBM.
Esoknya, aku tidak masuk sekolah. Selain kelelahan, aku juga tidak mau bertemu dengan Raisa di sekolah. Aku tak akan kuat jika harus melihat seseorang yang kusayangi berdampingan dengan laki – laki lain, aku tak kuasa jika harus melihat Raisa tertawa lepas bersama laki – laki lain. Hah...bodohnya aku. Mengapa tidak dari dulu saja aku menyatakan perasaan ini pada Raisa?
Raisa mengirim BBM.
“PING!!!”
“Ya,”jawabku singkat.
“Kamu gak sekolah?”tanya Raisa.
“Iya, aku kecapean habis futsal semalem,”jawabku.
“Oh iya, GWS yah,” jawabnya.
Mungkin inilah pesan terakhir dari Raisa, ucapan terakhir get well soon yang membuat hatiku menangis. Mungkin seorang Deana Nugraha tak akan pernah memiliki seorang Raisa Drupadi. Rasa takutku untuk menyatakan perasaan ini, terlalu besar dibanding rasa cinta yang kupendam selama ini. Dan itulah kebodohanku.
Untuk melampiaskan kekesalan hati ini, kucoba mencari wanita lain. Mungkin dengan seperti ini, aku tidak akan selalu teringat akan kenangan indah bersama Raisa.
Aku pun jadian dengan Noni, mantan pacar temanku, Willy. Mungkin aku salah, melampiaskan kekesalan ini kepada orang lain yang tidak tahu apa – apa tentang semua ini. Tapi, mau bagaimana lagi.
“Raisa, sampai kapanpun, kamu akan selalu dapat tempat spesial di hatiku ini. Kenangan indah bersamamu tak akan pernah aku lupakan. Suatu saat nanti, jika kau bukan milikku lagi, bahagialah bersama orang yang kau cintai, meskipun orang itu bukan diriku. Akan kutitipkan rasa cintaku ini pada seorang laki – laki yang sangat beruntung untuk memilikimu. Tapi, jika kau disakiti, aku ada di belakangmu. Akan merangkulmu, mengajakmu bersamaku untuk meraih kebahagiaan itu. Selamat tinggal Raisa, aku sayang kamu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar